Selasa, 28 Februari 2012

Parpol Turun dan BBM Naik


Kecewa, benci, sumpah serapah, bosan, rasa anti (antipati), muak, hingga alergi adalah seonggok rasa tidak suka kepada sesuatu. Ya, tidak suka!

Rasa itu sesungguhnya mewakili stok kesabaran yang sudah habis, tidak ada kompromi, tidak ada toleransi. Gambaran semacam itulah yang kini tercermin dalam pandangan masyarakat atau publik terhadap partai politik.
Tapi, gambaran itu bukan sekadar sikap "alergi" yang emosional, namun Lembaga Survei Indonesia (LSI-lembaga), Lingkaran Survei Indonesia (LSI-lingkaran), dan CSIS sudah melakukan survei untuk itu.

Perbandingan kesukaan masyarakat terhadap parpol dari Juni 2009 dengan Februari 2012 adalah 21 persen (2009) menjadi 13,7 persen (2012) dalam versi LSI-lembaga.

Dalam versi LSI-lingkaran mencatat 20,5 persen (2009) menjadi 13,7 persen (2012), sedangkan CSIS mencatat 20,85 persen (2009) menjadi 12,6 persen (2012). Jadi, citra parpol di mata masyarakat memang turun di kisaran 7-8 persen.

Kenapa citra parpol bisa merosot sebegitu tajam ? LSI-lembaga mencatat sentimen kepada sikap politisi dan tren negatif penegakan hukum merupakan penyebabnya.

Namun, LSI-lingkaran mencatat kasus korupsi di tubuh Partai Demokrat adalah penyebabnya, sedangkan CSIS lebih menyoroti sikap politisi sebagai penyebabnya, karena penurunan terjadi hampir pada semua parpol, kecuali PPP dan Gerinda.

"Tapi, jeleknya parpol hendaknya tidak diikuti dengan keinginan untuk membubarkan parpol, karena demokrasi itu menghendaki perimbangan kekuasaan. Kalau tidak ada parpol, maka birokrasi akan seenaknya," ucap Ketua MK Prof Mahfud MD.

Oleh karena itu, parpol sejelek apapun tetap penting. "Kalau kita tidak suka partai politik, maka kita bisa memilih gerakan politik," tukas Ketua MK Prof Mahfud MD dalam seminar pada Kongres I ISNU di Lamongan (18/2/2012).

Ketua Dewan Kehormatan PP ISNU 2012-2017 itu mengatakan gerakan politik itu antara lain organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, ISNU, dan sebagainya. Atau, LSM, media massa, dan sebagainya.

"Kalau tidak lewat parpol, maka kita ngomong lewat media massa saja sudah bisa mempengaruhi proses politik yang berlangsung. Kita pilih ngomong atas nama gerakan politik sambil menyehatkan partai politik yang ada," timpalnya.

Agaknya, "pembelaan" Prof Mahfud MD itu akan sia-sia bila parpol sendiri tidak ada ihtiar untuk melakukan revolusi yakni revolusi pola rekrutmen yang "bersih" dari politik uang !

"Saya setuju dengan Pak Marzuki Alie (Ketua DPR RI), UU Parpol perlu dibenahi dan politik juga perlu didekatkan dengan agama," tutur mantan politisi PKB dan mantan Menhan itu.

Ia mengaku mayoritas politisi di DPR itu masih baik, tapi ada sekitar 100 politisi yang tidak baik dan mereka menguasai segala lini, sehingga DPR pun terkesan jelek.

"Karena itu, pola rekrutmen parpol harus disehatkan dengan UU yang baik, misalnya negara ikut membiayai kegiatan parpol atau bahkan proses pilkada. Tapi, ajaran agama yang menjiwai juga penting, misalnya disebutkan bahwa meraih kekuasaan dengan suap itu masuk neraka, baik pelaku suap atau penerima suap," kilahnya.

Revolusi kebijakan
Bukan hanya pola rekrutmen kader parpol yang harus direvolusi, tapi parpol juga harus merevolusi keberpihakan terhadap rakyat yang diwakilinya. Atau, parpol memang ingin rakyat tetap "alergi" kepadanya hingga suara atau citra parpol benar-benar terjungkal ?!

Revolusi keberpihakan kepada rakyat itu antara lain terlihat dari "pembelaan" kepada kepentingan rakyat terkait rencana kenaikan harga BBM secara bertahap pada April mendatang. Ya, suara parpol turun, tapi harga BBM naik !

Tentu, parpol bisa saja menolak "BBM Naik" untuk mendongkrak suara/citra "Parpol Turun" dengan cara "memainkan" kemiskinan rakyat (akibat inflasi bahan kebutuhan pokok) untuk secuil simpati. Kalau menggunakan "cara murahan" seperti itu ya anak SD pun bisa.

"Subsidi BBM itu tidak mendidik, tapi kenaikan BBM itu juga harus dilakukan secara bertahap dan subsidi yang sudah ditiadakan harus dialihkan sebagai subsidi dalam bentuk pemberdayaan," tukas Kepala Pusat Studi Energi ITS, Dr Ir Prabowo M Eng, di sela-sela memandu dialog ahli energi Jepang, Dr Kenzo Tsutsumi, di Rektorat ITS (23/2).

Menurut Prabowo, "subsidi" BBM yang diubah kepada "subsidi" pemberdayaan itu penting untuk dua alasan yakni stok BBM berbentuk fosil memiliki keterbatasan waktu dan subsidi pemberdayaan justru lebih mendidik atau mempersiapkan rakyat untuk lebih dapat menjangkau harga BBM seberapa pun.

"Tapi, subsidi pemberdayaan itu bukan berbentuk ikan seperti BLT (bantuan langsung tunai), tapi harus berupa kail/pancing seperti program pelatihan wirausaha dan pendirian sentra industri UKM," kilahnya.

Intinya, kalau rakyat diberdayakan dengan diberi kail dan bukan ikan, maka dia akan sejahtera, sehingga fluktuasi harga BBM akan tetap dapat dijangkau masyarakat. "Kalau hanya BLT ya hanya sesaat, beda kalau diberi pekerjaan," katanya.

Namun demikian, katanya, kenaikan itu sebaiknya dilakukan secara bertahap, karena masyarakat kecil tidak memiliki kesiapan yang besar.

"Yang tidak kalah pentingnya adalah transparansi dan energi alternatif. Transparansi itu mencakup uang pengalihan subsidi itu untuk apa saja," kata ahli energi yang juga dosen Teknik Mesin FTI ITS itu.

Untuk kepentingan penyediaan energi, katanya, energi alternatif atau energi terbarukan hendaknya menjadi pilihan pemerintah untuk menggantikan energi fosil yang dipakai selama ini.

"Kita memiliki banyak sumber energi terbarukan, bahkan kita lebih unggul dari negara lain, misalnya energi surya, energi alternatif yang bersumber dari laut, dan banyak lagi. Yang penting jangan nuklir, karena Jepang saja sudah berupaya meninggalkan energi itu," katanya.

Senada dengan itu, dosen senior Unair yang juga Pembina Ikatan Alumni Unair Drs Mashariono MM menegaskan bahwa kenaikan BBM merupakan langkah terbaik, namun langkah itu perlu dilakukan dengan bijak.

"Caranya bisa dengan menaikkan harga BBM secara bertahap, melakukan pembatasan mobil pribadi untuk diarahkan membeli Pertamax, mendorong gas atau energi altenatif lainnya, dan membenahi moda transportasi massal, kemudian kompensasi dari kenaikan BBM itu juga harus ada," katanya.

Ia menyebutkan kompensasi paling baik adalah penyediaan lapangan kerja. "Untuk itu, pemerintah bisa mendirikan pabrik baru, sentra UKM, pelatihan UKM, dan semacam itu," kata ahli ekonomi Unair yang juga dosen STIESIA Surabaya itu.

Ya, parpol tidak boleh memanfaatkan "BBM Naik" sebagai isu untuk menaikkan suara/citra "Parpol Turun", karena orang-orang parpol bukanlah anak kecil, namun justru mendorong revolusi kebijakan yang solutif dan bukan kebijakan "bongkar-pasang" yang akhirnya membuat rakyat bisa "alergi" lagi.
(T.E011/E001)
Sumber : ANTARA BENGKULU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)