Minggu, 04 Maret 2012

Merokok Itu Keren !!?? KEBOHONGAN TERBURUK !!


Siapa bilang merokok itu keren? Anda yang beranggapan seperti itu, pasti sudah termakan oleh propaganda iklan produk rokok.

Perusahaan rokok sering membangun kesan bahwa merokok itu keren, seperti koboy, tangguh, berani, gentle dan disukai wanita.

Produsen rokok tak hanya telah meracuni akal sehat masyarakat tetapi juga meracuni paru-paru konsumennya dengan zat adiktif nikotin dari produknya.

Bodohnya lagi, para perokok rela hidup miskin demi gulungan tembakau yang tak dapat ditemukan dimana nilai manfaatnya itu.

Padahal para perokok pemula tak ada yang mengaku bahwa alasan mencoba rokok karena kepincut nikmatnya menghisap asap nikotin tersebut.

Bahkan, dibutuhkan berulangkali percobaan hingga ditemukan kenikmatan saat mengaktifkan sel-sel kanker (baca: merokok).

Usia remaja adalah masa yang rentan aksi coba-coba termasuk memulai mencoba rokok dengan alasan yang teramat sederhana, demi gaya.

Mereka merasa merokok adalah cara menandai sebuah kematangan dan kedewasaan usia. Di kalangan lain, banyak lagi alasan mengapa orang bersedia mengasapi rongga pernafasannya dengan racun.

Di lingkungan masyarakat miskin, alasan merokok biasanya karena dianggap sebagai penghilang stres atas tekanan hidup yang mereka alami.

Pada golongan orang mapan, ritual merokok biasanya menjadi sarana pergaulan. Sedangkan kaum hawa yang turut serta merokok umumnya karena alasan gaya dan kelompok lain sebagai pelarian akibat frustasi.

Itulah sederetan alasan orang merokok, yang tidak satupun dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah, ekonomi dan apalagi medis.

Namun begitu, si pencemar paru-paru dan pengaktif sel kanker ini tetap mendapat banyak penggemar. Dari 240 juta penduduk Indonesia, 64 juta diantaranya adalah perokok, atau dua dari tiga pria dewasa adalah perokok.

Angka ini belum termasuk perokok dari kalangan anak-anak dan perempuan. Fakta ini menempatkan Indonesia pada ranking ke 3 di dunia dengan jumlah perokok terbanyak.

Di berbagai negara berkembang, perokok lebih mewakili perilaku kalangan miskin, pendidikan rendah dan orang-orang yang abai terhadap kesehatan.

Dan Indonesia kaya akan penduduk berkategori tersebut, maka bisa dimengerti kenapa jumlah perokok di negara ini begitu besarnya.

Masyarakat Indonesia adalah pasar yang sangat potensial bagi industri rokok, karena kelompok pendidikan rendah dan miskin menjadi obyek yang paling mudah diperdayai oleh propaganda.

Tak heran jika perusahaan rokok berlomba-lomba mencipta iklan semenarik mungkin untuk menggaet para korbannya.

Entah kenapa, peringatan bahaya merokok dalam kemasan rokok tidak juga mampu mengendurkan niat orang untuk mengisapnya.

Padahal, apa kerennya merokok? Bahaya rokok yang dapat merusak jantung, paru dan otak sudah banyak diketahui orang.

Dan tahukah anda, efek merokok juga membuat orang buruk rupa dan tampak lebih tua dibanding usia sesungguhnya.

Menurut dokter spesialis kulit M. Nasser akibat merokok dapat membuat lebih banyak kerutan di wajah, garis kerutan di sekitar bibir dan bintik-bintik penuaan.

Efek rokok, kata dia, juga merusak gigi, kulit dan payudara kendur, menimbulkan kebotakan dini serta berpotensi mengembangkan katarak yang bisa berujung kebutaan.

Bahkan tanpa riset dan penjelasan medis pun, efek buruk merokok juga tampak secara kasat mata, mulai dari bibir yang menghitam, muka kusam dan bau `apek¿. Lalu dimana letak `kerennya si perokok? tapi katakan tidak pada rokok.

Bikin Miskin
Kalau ada barang konsumsi yang bikin orang miskin, rokok adalah salah satunya. Hasil riset Badan Pusat Statistik dari tahun ke tahun mencatat, rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua masyarakat miskin, setelah beras.

Data terbaru BPS menyebutkan masyarakat miskin di kota menghabiskan 25,44 persen penghasilannya untuk membeli beras dan 7,7 persen untuk membeli rokok.

Sedangkan belanja beras masyarakat desa sebesar 32,81 persen dan 6,3 persen untuk rokok. Angka pengeluaran rokok rakyat miskin ini lebih besar daripada pengeluaran mereka untuk kesehatan dan pendidikan.

Pada skala negara, data dari hasil Riset Kementerian Kesehatan RI beberapa tahun lalu ini pasti mencengangkan.

Indonesia mengkonsumsi 240 miliar batang rokok per tahun atau sama dengan 658 juta batang rokok per hari, jumlah ini senilai uang Rp330 miliar rupiah "dibakar" oleh para perokok Indonesia setiap hari.

Bila dihitung setahun jumlahnya akan mencapai 118 triliun atau lebih dari 10 persen APBN. Sesuai data dari BPS, temuan dari riset ini lebih mengejutkan dimana prevalensi pengeluaran rumah tangga di Indonesia untuk rokok adalah 11,5 persen, jauh diatas pengeluaran untuk pendidikan yang hanya 3,2 persen dan apalagi jika dibandingkan untuk kesehatan 2,3 persen.

Maka tidak heran kalau banyak anak-anak putus sekolah tetapi orangtuanya mampu membeli rokok. Hitungan sederhananya, jika sehari seorang ayah di pedesaan membeli sebungkus rokok Rp7.500 maka dalam sebulan ia membelanjakan Rp225.000.

Angka ini tentu lebih bermanfaat untuk menyelamatkan sekolah seorang anak SD. Dan berapa juta orang tua yang egois tidak bisa putus dari rokok dan terpaksa anaknya yang putus dari sekolah?

Masih banyak orang yang menganggap sederhana persoalan rokok ini tapi pada kenyataannya dampaknya tidak sesederhana itu.

Penelitian dari Lembaga Demografi UI (2010) menyimpulkan bahwa rokok adalah jebakan kemiskinan (poverty trap).

Akibat konsumsi rokok ini, banyak orang miskin di Indonesia tidak pernah memiliki rumah hingga puluhan tahun, bahkan hingga tutup usia.

Konsumsi rokok juga mengurangi jatah kebutuhan nutrisi untuk anak-anak dari total pendapatan keluarga miskin.

Akibatnya, negeri dengan prevalensi rokok terbesar di Asia Tenggara ini menghasilkan generasi yang malnutrisi dan melemahkan produktivitas SDM untuk pembangunan.

Regulasi
Ketiadaan regulasi pembatasan rokoklah yang membuat industri berkembang pesat tanpa batas. Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi pada Undang-undang No. 39 Tahun 2009 ayat yang menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif sempat dihilangkan.

"Ayat tembakau tidak mungkin hilang dengan sendirinya dari naskah Undang-Undang Kesehatan. Itu pasti disengaja," katanyanya.

Kasus penghilangan ayat soal tembakau pada Undang-Undang Kesehatan, kata Tulus, merupakan kejahatan sistematis yang direncanakan.

Tapi usai hilangnya ayat tembakau kabar gembiranya Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengakui tembakau sebagai zat adiktif.

"Sebagai Menteri Kesehatan tentu saja saya sepakat rokok adalah zat adiktif. Sedangkan RPP nya nanti akan keluar, masih kita proses," ujar Endang.

Agar Indonesia tak lagi dijuluki sebagai "Negeri Asbak Rokok" maka peredaran tembakau harus dikendalikan.

Selain UU menetapkannya sebagai zat adiktif, cara berikutnya adalah dengan menaikkan cukai setinggi mungkin.

Dengan begitu barang beracun itu tak lagi terjangkau bagi remaja dan orang-orang miskin, kalangan yang musti dilindungi.
Sumber : ANTARA BENGKULU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)