Rabu, 08 Juni 2011

BERSAMA MENGURANGI PENYEBARAN HIV/AIDS


Jutaan bayi di Indonesia berpotensi tertular HIV/AIDS dari ibunya apabila tidak ada upaya serius dari semua pihak untuk melakukan pencegahan.

"Potensi perempuan berisiko terkena HIV karena bersuami pria yang mengidap virus tersebut adalah sebanyak 1,6 juta orang, sedangkan data hingga Maret 2011 menyebutkan sebanyak 2.160 ibu rumah tangga telah tertular," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nafsiah Mboi, dalam acara workshop wartawan dan populasi kunci dalam strategi penanggulanan HIV/AIDS di Jakarta, belum lama ini.

Dia menjelaskan, ibu rumah tangga merupakan kalangan rentan terinfeksi HIV/AIDS tertinggi dari kalangan perempuan di Indonesia saat ini, jauh melebihi penjaja seks yang jumlahnya hanya mencapai 457 orang.

Untuk menghindari jumlah orang terinfeksi yang semakin tinggi, khususnya di kalangan anak yang tertular dari orang tuanya, KPA melakukan sejumlah langkah strategis.
Beberapa langkah strategis tersebut adalah pelatihan bagi petugas kesehatan dan penambahan fasilitas pengobatan bagi balita yang terinfeksi HIV/AIDS pada sejumlah rumah sakit di beberapa daerah yang dianggap bervalensi tinggi.

"Kami juga sedang memperbanyak sosialisasi kepada perempuan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS agar melakukan pengobatan ARV (metode pengobatan bagi orang terinfeksi HIV) selama hamil agar mempersempit kemungkinan penularan," kata dia.

Sementara itu, sepanjang 2011, pemerintah menargetkan sejumlah indikator pencapaian target MDG's di bidang penanganan kasus HIV/AIDS berdasarkan instruksi presiden nomor 3 tahun 2010.

Sejumlah indikator yang ditargetkan adalah peningkatan signifikan penggunaan kondom pada seks berisiko sebesar 55 persen, adanya peningkatan persentanse remaja usia 15-24 tahun yang memahami seputar HIV/AIDS hingga 70 persen, dan peningkatan jumlah terinfeksi HIV/AIDS yang mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 70 persen.

Selain itu, KPA juga menargetkan upaya pencegahan dapat mencapai 250 kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada akhir 2011, dan prevelensi penularan per 100 ribu penduduk dapat mencapai di bawah 0,5.

"Sayangnya, angka yang kita capai saat ini masih jauh dari itu, perlu kerja keras dari berbagai pihak, termasuk jurnalis dan populasi kunci," kata dia.

Sementara itu, Manager Kasus Klinik Voluntary and Counceling Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) Lampung Ade Komariah menyatakan, saat ini ada sekitar seratusan kasus HIV baru di daerah itu yang belum mendapatkan terapi pengobatan Anti Retroviral (ARV).

"Estimasi ODHA yang belum menjalani pengobatan ARV saat ini ada sekitar 100-an orang, mereka belum melakukannya karena masih memiliki kadar CD-4 yang masih tinggi," kata dia.

CD-4 adalah sel dalam darah yang merupakan tipe limposit dan berfungsi untuk menjaga daya tahan tubuh.

Ade menjelaskan, orang yang terinfeksi HIV dan memiliki kadar CD-4 yang lebih kecil dari 800, harus menjalani terapi ARV untuk meningkatkan kembali kadar sel CD-4 yang dia miliki.

Sementara sekitar 100-an ODHA tersebut, masih memiliki kadar CD-4 di atas 800, sehingga dianggap belum perlu menjalani terapi ARV.

Meski demikian, Ade yakin, cepat atau lambat mereka akan menjalani terapi ARV untuk mempertahankan daya tahan dan sistem kekebalan tubuh mereka.

Seratusan kasus baru HIV itu merupakan hasil terbaru tes VCT yang dilakukan secara sukarela terhadap orang yang berisiko terinfeksi.

Ade mengakui, saat ini ada peningkatan kesadaran pada kalangan beresiko tertular HIV untuk menjalani tes, dan mengikuti konseling.

"Setiap bulan ada sekitar 10-an orang berisiko terinfeksi yang mengikuti konseling," kata dia.

Saat ini ada sekitar 214 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di daerah itu yang menjalani terapi antiretroviral (ARV) secara rutin dan teratur di klinik VCT RSUDAM.

ODHA yang menjalani terapi ARV di klinik VCT RSUDAM Lampung berasal dari 14 kabupaten/kota di Lampung.

Sementara itu, berdasarkan data KPA Kota Bandarlampung, saat ini ada sekitar 3.507 warga yang beresiko terinfeksi HIV.

Mereka terdiri atas beberapa kelompok, yang diistilahkan dengan "kelompok berisiko tinggi", yaitu pengguna narkotika jarum suntik, wanita pekerja seks, dan lelaki suka lelaki.


Tolak Pencopotan Hak Paten ARV
Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) kembali meminta pemerintah untuk menolak klausul pencopotan hak paten antiretroviral (ARV) bagi negara-negara berkembang.

"Pengobatan ARV merupakan satu-satunya sarana bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk bertahan hidup, dan pemberian patennya bagi negara berkembang telah memberikan kemudahan bagi ODHA untuk mendapatkan obat tersebut," kata Koordinator Nasional JOTHI Omar Syarif, saat dihubungi ANTARA dari Bandarlampung.

Menurut dia, apabila klausul tersebut tidak dicabut maka akses ODHA untuk mendapatkan obat ARV dengan harga terjangkau terancam, karena akan bergantung pada sumber tunggal obat paten yang diproduksi perusahaan farmasi Amerika atau Eropa.

"Biaya konsumsi terhadap obat paten produksi perusahaan farmasi Eropa atau Amerika sangat mahal, bisa mencapai 20 ribu dolar AS per tahun," kata dia.

Saat ini, dengan kebijakan pemberian paten bagi negara Asia-Pasifik untuk memproduksi obat generik tersebut, pemerintah dapat memberikan pengobatan ARV bagi ODHA di Indonesia dengan subsidi penuh dari negara.

"Kalau nanti perusahaan farmasi Eropa dan Amerika menjadi sumber tunggal obat ARV, subsidi pengobatan ARV gratis bagi ODHA pasti dicabut, karena biaya yang ditanggung menjadi berpuluh kali lipat," kata dia.

Selama ini, ODHA di Indonesia mendapatkan akses pengobatan ARV melalui obat generik produksi dalam negeri dan India, yang patennya diberikan dalam jangka waktu terbatas.

Dalam salah satu klausul perjanjian perdagangan bebas (FTA), Uni Eropa mengajukan klausul penegakan hak kekayaan intelektual yang ditujukan untuk mengendalikan harga obat agar tidak jatuh dan menunda pengembangan obat esensial, seperti ARV.

Apabila klausul tersebut ditandatangani, produksi obat ARV generik dari farmasi India yang selama ini menjadi pemasok 80 persen obat kebutuhan obat HIV/AIDS dunia yang didistribusikan ke negara - negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, terancam berhenti.

Sebelumnya, JOTHI juga telah menggelar aksi simpatik di bundaran Hotel Indonesia pada 28 Februari 2011 lalu, terkait isu tersebut.

Saat ini, Omar menambahkan, JOTHI juga berupaya mengomunikasikan beberapa rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menghadapi kemungkinan memburuknya produksi dan distribusi obat HIV generik dunia.

JOTHI juga meminta pemerintah segera mengambil langkah peningkatan kemampuan untuk memperkuat kapasitas farmasi BUMN yaitu Kimia Farma dalam melakukan produksi obat generik ARV.

Melalui kebijakan yang juga menjadi salah satu indikator prioritas penanggulangan AIDS di ASEAN itu, obat ARV generik dapat terus dikembangkan di Indonesia untuk bisa melindungi masyarakat Indonesia dari berbagai dampak negatif HIV dan AIDS.

Sementara itu, pemerhati masalah AIDS dan aktivis LSM Info Kespro, Syaiful W Harahap menyatakan, peranan pers dalam membantu penanggulangan penyebaran virus HIV di Indonesia harus lebih dioptimalkan.

"Indonesia harus belajar dari keberhasilan Thailand dalam menanggulangi epidemi HIV, yang program pertamanya adalah meningkatkan peran media massa sebagai media pembelajaran masyarakat," katanya saat memberi pelatihan dalam Workshop wartawan dan populasi kunci dalam strategi penanggulangan HIV dan AIDS, di Jakarta belum lama ini.

Menurut dia, kebijakan yang dilakukan di Indonesia saat ini, yaitu kampanye penggunaan kondom 100 persen di lingkungan industri seks, tidak tepat bila tidak dibarengi dengan pemberian pengetahuan dan sosialisasi yang benar terhadap masyarakat tentang latar belakang program tersebut digulirkan.

"Lembaga yang paling efektif melakukan sosialisasi tentang HIV dan penanggulangannya adalah pers dan media, kampanye penggunaan kondom 100 persen akan menambah pro kontra di kalangan masyarakat apabila tidak didahului dengan sosialisasi terlebih dahulu," kata dia.

Program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia berdasarkan program nasional, dan 44 peraturan daerah di berbagai wilayah Indonesia pada dasarnya memiliki kelemahan yang sama, sehingga sosialisasi mengenai penanggulangan HIV cenderung tidak optimal.

Sejumlah kelemahan tersebut adalah tidak memanfaatkan peran media secara optimal, yang disebabkan oleh kurangnya pembinaan terhadap wartawan terkait pemberitaan mengenai HIV/AIDS.

"Akibatnya media selalu terjebak pada pemberitaan dangkal yang mengedepankan sisi sensasional dan bombastis," kata dia.

Padahal, dia melanjutkan, media adalah sarana paling efektif untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat seputar HIV dan AIDS, sehingga apabila dioptimalkan, dapat membantu untuk menekan penyebaran virus itu.

"Kita harus belajar dari Thailand mengenai hal ini," kata dia.

Beberapa program penanganan AIDS nasional yang dilakukan pemerintah Thailand dan efektif menekan penyebaran HIV di negara tersebut selain meningkatkan peran media massa adalah pendidikan sebaya, pendidikan HIV/AIDS di sekolah, tempat kerja, sektor pemerintah, serta swasta, dan pemberian keterampilan.

"Baru setelah semua itu dijalankan, kita melakukan kampanye penggunaan kondom 100 persen di lingkungan industri seks, serta pembagian jarum suntik steril, sehingga semuanya berjalan efektif" kata dia.

Sedangkan satu-satunya program yang diadaptasi dari Thailand oleh pemerintah Indonesia adalah promosi kondom, namun tidak diawali dengan sosialisasi yang intens melalui media. (ANT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)