Rabu, 08 Juni 2011

INDONESIA AJAK PEMILIK HUTAN TROPIS SATUKAN POSISI


Indonesia mengajak negara pemilik hutan tropis menyatukan posisi dan memperjuangkan kepentingan bersama negara berkembang di berbagai pertemuan internasional.

Upaya tersebut menjadi sangat penting diperlukan menjelang konferensi tingkat tinggi (KTT) COP 17 UNFCCC di Durban, Afrika Selatan, Desember 2011 dan Pertemuan Rio+20 di Brasil pada 2012 yang membahas perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Ajakan itu disampaikan Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, saat menjadi pembicara pertama pada KTT Hutan Tropis di Tiga Lembah Sungai (Basin) di Brazzaville, Republik Kongo 29 Mei - 3 Juni 2011.
KTT ini sendiri membahas pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management) di lembah sungai Amazon, Congo, dan Asia Tenggara, sekaligus memastikan kontribusi dari ketiga basin tersebut dalam upaya menghadapi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Menurut menteri, KTT ini menjadi sangat penting karena keanekaragaman hayati dalam hutan tropis yang ada di ketiga lembah sungai ini sangat tinggi. Apalagi, hutan tropis ini juga menjadi sumber mata pencaharian jutaan penduduk di sekitarnya.

Karena itu, Menhut dalam pertemuan itu menekankan pengelolaan hutan tropis harusnya tidak hanya dipandang penting dari perspektif perubahan iklim dan lingkungan, tetapi juga dari sisi sosial ekonomi beberapa negara yang melingkupinya.

"Ini yang harus terus diperjuangkan negara berkembang pemilik hutan tropis di ketiga lembah sungai tersebut," katanya.

Untuk itu, dia memandang pentingnya kerja sama di antara negara-negara pemilik hutan tropis dalam memperjuangkan kepentingan bersama di berbagai petemuan internasional, termasuk COP 17 UNFCCC yang digagas PBB.

"Kita harus memastikan bahwa hasil dari berbagai pertemuan interasional memberikan manfaat kepada negara-negara berkembang dan secara khusus kepada negara pemilik hutan tropis," kata Ketua Delegasi RI pada KTT itu.

Menurut dia, hal itu juga sejalan dengan misi Indonesia mendukung inisiatif meningkatkan kerja sama dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan di seluruh penjuru dunia.

"Ini tercermin dari inisiatif Indonesia mendirikan dan kini mengetuai kelompok 'Forest 11' yang beranggotakan Brasil, Kosta Rika, Kamerun, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Guatemala, Guyana, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Peru, Republik Kongo, dan Suriname," ia menjelaskan.

Menteri mengatakan, pembentukan kelompok 11 negara pemilik hutan tropis ini bertujuan mempromosikan kerja sama internasional dalam bidang konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan, di antaranya melalui kolaborasi dalam bidang penginderaan jauh dan penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+).


Seimbang
Seperti negara-negara pemilik hutan tropis lainnya, kata menteri di hadapan perwakilan 32 negara dan di antaranya 7 Presiden, 3 Perdana Menteri, dan 3 Wakil Presiden, Indonesia sangat percaya mengenai harus ada pendekatan yang seimbang dalam memandang hutan.

Dengan demikian, kawasan hutan tropis tidak hanya harus dijaga dan diawasi pengelolaannya secara ketat sebagai paru-paru dunia dan penyerap emisi karbon, tetapi juga harus bisa dikembangkan dari sisi ekonomi dan sosial untuk menyangga kehidupan masyarakat sekitarnya.

Dalam berbagai forum pertemuan internasional, menurut dia, hutan tropis harus dapat dipromosikan sebagai sumber daya penting untuk pembangunan sosial-ekonomi masyarakat negara berkembang, mengingat sebagian di antara rakyat di sekitar kawasan hutan masih merana dalam kemiskinan.

"Dan hanya dengan kerja sama yang berkelanjutan di antara kita sebagai bangsa-bangsa hutan tropis, kita bisa menjamin untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari hutan dalam konteks pengentasan kemiskinan, pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Apalagi kawasan hutan menyediakan jasa lingkungan yang tak ternilai kepada dunia," kata Menhut.

Itu sebabnya, kata menteri, Indonesia bertekad untuk mencapai tujuan kembar meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus melindungi hutan. "Kita tahu ini bisa dilakukan dengan politik, inovasi, dan kreativitas," tegas Menhut yang pada KTT itu terus berupaya keras menarik simpati negara-negara Afrika untuk mendukung pencalon Indonesia sebagai Dirjen FAO.

Kesamaan posisi negara pemilik hutan tropis ini menjadi demikian penting bagi Indonesia ketika semua pihak mengetahui bagaimana perundingan perbahan iklim di Cancun, Meksiko, dan berbagai perundingan sebelumnya mengalami jalan buntu karena pertentangan antara Eropa dan AS mengenai subsidi dan kurangnya perhatian negara pengemisi terhadap nasib pengelolaan hutan tropis di negara berkembang serta upaya kongkrit dunia dalam mengurangi emisi karbon.


Pembentukan Biro
Sementara Sekjen Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hadi Daryanto, yang juga menjadi anggota delegasi RI pada pertemuan di Kongo, Afrika, tersebut mengatakan, KTT menyepakati pembentukan sebuah biro untuk menindaklanjuti berbagai hasil pertemuan.

Peserta KTT juga sepakat menunjuk Indonesia, Kongo dan Guyana mewakili pemilik hutan tropis di ketiga lembah sungai tersebut serta Afrika Selatan (tuan rumah COP 17 UNFCCC) dan Brasil (tuan rumah konferensi Rio+20) duduk dalam biro tersebut dan terus bekerja sama menyelesaikan konsep perjanjian kerja sama (cooperation agreement). Konsep perjanjian kerja sama ini diharapkan dapat ditandatangani pada konferensi Rio+20.

Kompromi itu tercapai setelah melalui perdebatan yang alot karena negara peserta, seperti Indonesia, juga didukung Brasil dan China, menyatakan belum siap memulai proses perundingan perjanjian kerja sama karena perlu waku pembahasan lebih lanjut dengan pemangku kepentingan di tingkat nasional dan regional. Apalagi, pembahasan perjanjian kerja sama juga harus melalui konsultasi 'intergovernmental' agar negara anggota memiliki rasa kepemilikan yang kuat terhadap isi perjanjian kerja sama tersebut.

Peserta KTT akhirnya setuju membuat rujukan megenai perlunya pembahasan kerja sama dalam beberapa pertemuan lainnya. Poin penting dalam isu ini adalah perjanjian kerja sama tersebut harus dapat diselesaikan paling lambat dalam konferensi Rio+20 pada 2012 di Brasil. Proses konsultasi ini diharapkan dapat dilaksanakan antara lain pada Sidang Majelis Umum PBB ke-66 dan COP 17 UNFCCC di Afrika Selatan Desember 2011.

"Karena itu, akhirnya dibentuk biro untuk menindaklanjuti kesepakatan ini," ujarnya.

Selain pembentukan biro, kata Hadi, peserta KTT untuk menyetujui usulan Indonesia agar dokumen deklarasi bersama (joint declaration) bersifat politis.

Deklarasi ini juga tidak mencantumkan arahan kepada menteri di sektor kehutanan untuk membuat sebuah "actian plan" yang bersifat teknis.

Selain beberapa kesepakatan di atas, kata Sekjen Kemenhut, pertemuan tingkat tinggi ini juga diharapkan dapat menyetujui usulan pembentukan "political body". Badan ini yang bertugas mengimplementasikan berbagai kesepakatan, termasuk mekanisme pendanaan badan yang dibentuk.

Hasil yang dicapai dari KTT ini yang akan menjadi kontribusi negara pemilik hutan tropis pada pertemuan UNFCCC ke-17 di Durban dan Pertemuan Rio+20 di Brazil, tegasnya. (ANT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)