Jumat, 04 November 2011

GEJOLAK PAPUA YANG TAK KUNJUNG USAI Oleh Maria Rosari Dwi Putri

Alam Papua begitu hijau dan kaya akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Namun ironisnya mayoritas masyarakat di provinsi itu diselimuti oleh kabut kemiskinan.

Miris, karena bukan hanya masalah kesejahteraan yang melanda. Berbagai masalah yang kelihatannya begitu rumit untuk diselesaikan, juga masih mendera Bumi Cendrawasih itu.

Begitu banyak spekulasi dan pendapat bermunculan tentang pokok masalah, yang menyebabkan segalanya tampak begitu rumit untuk diselesaikan.
"Permasalahan Papua sebenarnya berakar dari berbagai pengalaman traumatis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia," kata mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu di Jayapura, Rabu (2/11).
Pendapat serupa muncul dari tokoh muda Papua Edo Kondologit, yang juga merupakan seorang penyanyi.

"Orang Papua harus dipandang sebagai anak bangsa juga. Janganlah pilih kasih".

Menurut Edo, pembangunan di Papua masih jauh dari layak. Selain itu, pembangunan tersebut dikatakan tidak memihak kepada rakyat Papua. Hal tersebut ia sampaikan pada sebuah diskusi di Jakarta pada Selasa (1/11).

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Papua, Manuel Kaisepo, menilai gejolak, konflik dan KEKERASAN DI PAPUA adalah ekspresi kekecewaan masyarakat akibat tidak terlaksananya Undang-Undang Otsus dengan konsisten.

"Semua gejolak, konflik dan kekerasan di Papua adalah ketidakpuasan atau kekecewaan masyarakat akibat tidak terlaksananya (Otsus) dengan konsekuen dan konsisten," kata Manuel Kaisepo di Jayapura, Senin (31/10)
Sementara itu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto menuturkan, persoalan di Papua bukan sekadar persoalan masalah hukum dan keamanan yang dapat diselesaikan dengan kebijakan mengerahkan kekuatan militer di wilayah itu.

"Itu salah besar. Jika ada penekanan terhadap masalah penegakan hukum, itu karena masih terjadi gangguan keamanan yang korbannya adalah rakyat dan aparat," katanya dalam perbincangan dengan ANTARA di Jakarta, Rabu (2/11).

Ia menegaskan, persoalan Papua bukan sekadar urusan TNI dan Polri yang jika ada tindakan kriminal atau gangguan keamanan di wilayah itu, lalu dibuat kebijakan untuk menambah personel aparat.

Menko Polhukam menambahkan, Papua tidak hanya Jayapura, Abepura, Puncak Jaya dan Timika, tetapi lebih banyak lagi dan lebih besar. Sama dengan wilayah lain di Tanah Air, maka Papua harus dilihat secara utuh dan pemerintah serius pula untuk mengelola Papua.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyimpulkan permasalahan Papua, dengan memberikan pernyataan bahwa ada empat masalah mendasar yang dihadapi Papua untuk diselesaikan.

"Empat masalah mendasar itu adalah gerakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, kedua konflik manajemen PT Freeport Indonesia dengan karyawannya, disparitas ekonomi dan pilkada," katanya di Jakarta, Kamis.

Berbicara saat membuka diskusi tentang perkembangan situasi keamanan Papua, ia mengatakan di antara empat masalah krusial tersebut, masalah gerakan yang ingin membebaskan diri dari NKRI, merupakan persoalan yang cukup rawan mengingat terkait dengan masalah kedaulatan negara.


Otsus Papua

Pada tahun 2001 pemerintah pusat membuktikan keseriusannya dalam mengurus dan mengelola Papua. Bentuk keseriusan dan kepedulian tersebut adalah dengan penerapan otonomi khusus sesuai UU No21/2001 dan percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat sesui Inpres No5/2007. Saat ini undang-undang tersebut sering kali disebut dengan Otsus.

Namun, bila otsus berjalan dengan baik, mengapa sekarang Papua masih terus dilanda kemiskinan dan pembangunan tidak berjalan dengan semestinya? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Otsus Papua sebenarnya dirancang dan dibuat dengan sangat baik. Namun sayangnya tidak dilaksanakan dengan konsisten," ujar mantan Ketua Pansus RUU Otonomi Khusus Papua di DPR, Ferry Mursidan Baldan, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (1/11).

Sependapat dengan Ferry, pengamat politik CSIS (Centre for Strategic of International Studies) Joseph Kristiadi mengatakan bahwa Otsus sudah dirancang sebaik mungkin. Namun harus ada niat baik dari pemerintah agar tidak hanya sekedar pencitraan saja, kata Kristiadi.

"Pada masa Otsus berlangsung, telah terjadi korupsi yang luar biasa, sehingga orang Papua mengatakan bahwa otsus identik dengan korupsi," ujar Kristiadi di Jakarta, Kamis (3/11).

Tokoh masyarakat Papua sekaligus Menteri Lingkungan Hidup Balthasar "Berth" Kambuaya, meminta konsistensi pemerintah pusat dalam menjalankan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) sebagai salah satu jalan keluar dari permasalahan yang terjadi di Papua.

"Pemerintah pusat harus betul-betul berkomitmen untuk melaksanakan undang-undang itu," ujar Kambuaya saat jumpa pers, usai pertemuan khusus yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, dengan para pejabat dan pakar politik dan keamanan di Jakarta, Kamis (3/11).

Ia mengatakan masih banyak hal-hal yang bergantung pada pemerintah pusat mengenai UU Otsus. Namun, Kambuaya juga mengimbau masyarakat Papua untuk bersama-sama berkomitmen pula dalam pelaksanaan UU tersebut.

Harus ada kesiapan masyarakat Papua dalam kapasitas kepemimpinan dan komitmen dalam melaksanakan UU Otsus tersebut. Hal ini terjadi karena Otsus adalah UU alternatif, sebagai bukti dari komitmen pemerintah pusat untuk membangun Papua, ujar Kambuaya.

"Ini adalah UU terbaik yang bisa memberi jawaban secara khusus, untuk masalah ekonomi dan kesejahteraan di Papua".

Persoalan yang terjadi saat ini adalah, bila UU tersebut dinyatakan tidak berhasil, maka hal itu akan kembali kepada orang Papua sendiri, untuk mendiskusikannya.

"Hal ini ditempuh orang-orang Papua, sehingga bisa melaksanakan UU dengan baik," ujar Kambuaya.

Menurut Kristiadi, indikasi pemerintah yang serius dalam menangani kasus Papua adalah dengan segera membuat Peraturan-peraturan Pemerintah, yang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk melaksanakan Otsus Papua.

"Otsus setiap satu atau dua tahun sekali harus dievaluasi kembali," tambahnya.

Kristiadi mengimbau masyarakat dan media supaya memiliki rasa kewajiban, melalui mekanisme dan pelaksanaan demokratis, untuk menekan pemerintah agar betul-betul jujur memulai menyelesaikan permasalahan ini dengan niat yang baik.


Penyelesaian Damai

Pengamat politik sekaligus Ketua Setara Institut, Hendardi, mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi di Papua harus diselesaikan melalui jalan damai, sehingga tidak ada alasan pemerintah untuk menggunakan cara kekerasan.

Hendardi menekankan yang terpenting adalah peran pemerintah yang memiliki keberanian politik untuk menghadapi masyarakat Papua dengan melakukan dialog bersama.

Ia juga meminta pemerintah untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua dan menegakkan hukum terhadap seluruh aksi kekerasan yang terjadi di provinsi itu.

"Meningkatnya kekerasan di Papua, menunjukkan pemerintah tidak selesaikan masalah secara damai," ujarnya dalam diskusi bertema" Kabinet Boros dan Bobrok Percepat Disintegrasi NKRI, bertempat di Rumah Perubahan 2.0" di Jakarta, Selasa (1/11).

"Harus ada pemutusan siklus kekerasan," kata Hendardi menambahkan.

Hal serupa juga dikatakan oleh Barnabas Suebu yang mengimbau aparat keamanan agar dapat menangani permasalahan di Papua secara bijaksana dengan menggunakan cara-cara damai.

"Kekerasan harus dicegah, terutama kekerasan kepada mereka yang tidak bersalah," ujarnya.

Bentuk penyelesaian damai juga diminta oleh Komite Solidaritas Papua melalui sekretarisnya Petrus Mike.

"Apa yang salah dengan kami (rakyat Papua), sehingga pemerintah tidak mau berdialog bersama kami," ujar sekretaris KSP Petrus Mike, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (2/11).

Petrus meminta agar pemerintah dapat melakukan upaya pendekatan secara adat dan spiritual.

Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia dan TNI menyatakan tetap mengedepankan pendekatan persuasif untuk mengatasi berbagai konflik serta persoalan lainnya di Papua yang kian menghangat akhir-akhir ini.

"Kami, Polri dan TNI tetap mengedepankan langkah-langkah persuasif untuk menghadapi berbagai aksi kekerasan dan kriminal di Papua," kata Kepala Bagian Pemeliharaan Keamanan Mabes Polri Komjen Pol Imam Sujarwo usai menghadiri diskusi perkembangan terakhir situasi keamanan di Papua di Jakarta, Kamis (3/11).

Ia menuturkan jumlah personel Polri di Papua mencapai 6.000 orang dengan bantuan personel Brimob sebanyak tiga SSK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)