Selasa, 08 November 2011

KRISIS EROPA, APEC, DAN HIKMAH UNTUK INDONESIA

Awal hingga pertengahan November 2011 adalah hari-hari sibuk bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang harus berkeliling dari konferensi ke konferensi di berbagai belahan dunia.

Pada 3-4 November 2011, Kepala Negara berada di Benua Eropa untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di sebuah kota selatan Prancis yang terkenal oleh festival film bergengsi digelar setiap tahun, Cannes.

Pada 12 hingga 15 November 2011, Presiden yang selalu didampingi oleh Ani Yudhoyono dalam setiap kunjungan kerja ke luar negeri akan berada di sebuah pulau di Samudera Pasifik yang menjadi impian para turis sedunia untuk menghadiri KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Honolulu, Hawaii.

Kunjungan kerja Presiden di Hawaii yang merupakan salah satu negara bagian Amerika Serikat itu akan dilanjutkan secara maraton ke Pulau Bali yang juga menjadi salah satu surga pariwisata dunia untuk menghadiri KTT ASEAN pada 17-19 November 2011.

KTT ASEAN di Bali juga akan dirangkaikan dengan KTT ASEAN+3 yang melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan China, serta KTT Asia Timur yang menurut rencana akan dihadiri juga oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama serta Presiden Rusia Dmitri Medvedev sebagai mitra ASEAN.

Kesibukan Presiden itu setidaknya mencerminkan posisi strategis Indonesia dalam pergaulan internasional yang sekaligus menjadi anggota G20 (forum informal yang terdiri atas 20 negara maju dan berkembang dibentuk untuk mencari solusi krisis keuangan global pada 2008), APEC yang mengidamkan sebuah zona perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik berlaku bagi 21 negara anggotanya pada 2020, serta Ketua ASEAN pada 2011 yang sedang mengejar cita-cita terbentuknya komunitas ASEAN pada 2015.

Presiden Yudhoyono dalam berbagai kesempatan selalu menekankan kerja sama internasional yang digalang Indonesia dengan negara-negara lain pasti mendahulukan kepentingan nasional. Ia juga menyatakan kehadirannya di setiap forum internasional pasti membawa misi kepentingan dalam negeri.

Dalam KTT G20 di Cannes yang baru saja berlalu, misalnya, Presiden mengingatkan agar krisis di Zona Euro jangan sampai melupakan tujuan besar dibentuknya forum tersebut, yaitu untuk menciptakan perekonomian dunia yang lebih stabil dan berimbang sehingga negara-negara berkembang juga bisa mendapatkan keadilan.

G20 juga bertujuan untuk mereformasi lembaga moneter internasional sehingga suara negara-negara berkembang bisa terwakili secara lebih adil dan berimbang. Namun, sayangnya tujuan itu sampai saat ini masih menjadi wacana meski KTT G20 telah digelar enam kali di berbagai negara belahan dunia.

Adalah sebuah kewajaran apabila G20 lebih fokus pada upaya mengatasi krisis zona Euro yang bermula di Yunani, kini telah merambat ke Italia, dan juga mencemaskan negara-negara pengguna mata uang Euro lainnya, karena G20 memang dibentuk untuk mencari solusi krisis keuangan yang bermula di negara-negara maju belahan barat.


APEC dan Cita-cita Perdagangan Bebas

Amerika Serikat yang akan menjadi tuan rumah APEC 2011 sampai saat ini juga belum pulih dari krisis finansial akibat longgarnya aturan main dan ketidaktransparan lembaga-lembaga keuangan dalam mengelola dana mereka. Negara adidaya itu sampai saat ini masih didera angka pengangguran yang tinggi dan juga masalah defisit anggaran.

Amerika Serikat sebagai tuan rumah APEC 2011 bertema "Seamless Regional Economy" itu seperti yang dikutip dari situs resmi APEC menginginkan konferensi tersebut dapat melahirkan ide untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja melalui peningkatan perdagangan dan arus investasi di kawasan Asia Pasifik.

Amerika Serikat pada tahun-tahun terakhir memang memperlihatkan minat tinggi untuk bekerja sama dengan negara-negara kawasan Asia yang saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia. Nilai perdagangan Amerika Serikat dengan negara-negara Asia Pasifik saat ini tercatat lebih besar dibanding dengan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.

Pada 2011, diharapkan negara-negara anggota APEC dapat lebih fokus pada upaya memperkuat integrasi ekonomi guna mewujudkan kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik sehingga nantinya berbagai tarif perdagangan dapat dihilangkan dan tidak ada lagi tarif-tarif baru yang akan muncul.

Sebuah penelitian telah dilakukan pada 2010 untuk mengetahui bagaimana kerangka kerja APEC dalam mengurangi tarif perdagangan diterapkan pada lima negara maju dan delapan negara berkembang di kawasan Asia Pasifik.

Hasilnya, pada 1994 hingga 2009, volume perdagangan negara-negara anggota APEC meningkat sebanyak 7,1 persen setiap tahun sedangkan nilai perdagangan intra negara-negara APEC meningkat sebanyak tiga kali lipat dalam periode yang sama.

Sedangkan investasi asing yang masuk dan keluar kawasan APEC tumbuh sebesar 13 persen pada periode 1994-2008. Nilai rata-rata tarif perdagangan di kawasan Asia Pasifik telah turun dari 10,8 persen pada 1996 menjadi 6,6 pada 2008.

Untuk itu, dalam setiap konferensi APEC digelar setiap tahun, para pemimpin negara-negara melontarkan pernyataan bahwa APEC telah berada pada jalur yang tepat guna mewujudkan stabilitas dan kemakmuran kawasan Asia Pasifik melalui perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka seperti yang dicita-citakan oleh para pendahulu mereka dalam Bogor Goals dideklarasikan pada 1994.


Sebuah Pelajaran

Namun, 17 tahun perjalanan setelah deklarasi Bogor Goals telah memberikan pelajaran bagaimana perekonomian dunia yang saling terjalin dan bergantung satu sama lain mudah sekali mendatangkan gelombang badai krisis.

Dengan sistem ekonomi yang terintegritasi di suatu kawasan, negara yang tidak sehat kondisi finansialnya dapat mudah sekali menularkan tetangga-tetangganya seperti yang terjadi di kawasan Zona Euro sekarang ini.

Krisis yang terjadi di belahan barat dunia itu tentunya layak dijadikan pelajaran bagi ASEAN yang sedang mengejar terbentuknya satu komunitas terintegritas pada 2015 dan juga tengah mengkaji kemungkinan penggunaan satu mata uang di kawasan Asia Tenggara.

Indonesia sudah mengambil pelajaran dari krisis moneter 1997/1998 bahwa satu-satunya kegiatan ekonomi yang masih bisa mempertahankan nyawa kala itu justru usaha kecil dan menengah yang basisnya adalah pelaku-pelaku usaha mandiri.

Dan Indonesia juga sudah belajar dari krisis keuangan global pada 2008-2009 yang seketika menciutkan volume perdagangan ekspor ke benua Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia bisa mengatasi krisis yang baru saja terjadi itu karena perekonomiannya bertumpu pada pasar domestik yang besar dan tidak terlalu bergantung pada ekspor.

Namun, pasar domestik Indonesia yang menggiurkan banyak negara di dunia itu rentan sekali "terjajah" oleh barang-barang impor yang mengalir masuk dengan mudahnya akibat berlakunya perjanjian perdagangan bebas. Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China telah membuktikan kerentanan pasar domestik tersebut.

Konsumen yang akhirnya memiliki lebih banyak pilihan dengan iming-iming harga murah tidak bisa dipersalahkan dan kemudian hanya disuruh mencintai produk dalam negeri dengan slogan "100 persen Indonesia".

Jika sistem perekonomian dunia yang lebih stabil dan adil menjadi tujuan, perdagangan bebas dan terbuka adalah keniscayaan, serta Indonesia yang maju dan mandiri menjadi cita-cita yang harus dikejar, maka janji Presiden Yudhoyono untuk mengedepankan segala kepentingan bangsa dalam setiap forum kerja sama internasional harus menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)